Sabtu, 31 Juli 2021

Negeri Apa Adanya

(dicopas dari aulakehidupan.blogspot.com)

 

Tak banyak yang bisa dilakukan didalam suatu negeri
Yang menganut filosofi, “apa adanya”
Tak diragukan lagi bahwa semua pernah bilang dan mendengar
Ini negeri yang menjungjung supremasi hukum, siapapun yang salah tak akan diberi ampun
Semua sama dan tak ada kata maklum
Mulai dari manusia gagah sampai nenek-nenek renta berwajah culun
Tetap diproses sesuai ketentuan meski mengabaikan santun

Tak banyak yang dapat diperbaiki di dalam suatu negeri
Yang menganut prinsip “apa adanya”
Dari anak sekolahan sampai orang kantoran pernah bilang dan mendengar
Ini bumi yang menerapkan nilai-nilai sejarah, menghargai pahlawan bahkan lawan
Memaafkan mendahului daripada membalaskan
Dan itu tradisi indah namun susah dan payah
Tak semudah menekuk daun pelepah

Tak banyak yang dapat disempurnakan di dalam suatu negeri
Yang didasari dan memercayai yang “apa adanya”
Dari sabang sampai keujung merauke
Itulah negeri tercinta walau selamanya terluka
Duka dan derita diatas suka dan gembira
Bagi siapa dan untuk siapa
Cari tahu dan selidik dalam dada
Karena kita merasa namun tak berani membuka

Negeri kaya yang menjual kekayaannya
Negeri pembeli yang membeli jualan sendiri

Tertulis BESAR dan INDAH tertanam anggun di benak anak sekolah
Tentang
Akan Kekayaan yang menjadi Kurnia Tuhan
Akan keramahtamahan yang menjadi adab setiap insan
Akan keindahan yang menjadi hiasan
Akan ketegasan yang menjadi slogan
Akan persatuan yang mengikat keberanekaragaman
Tapi itu bohong Saudaraku
sebelum ada di depan mata
Sebelum ada dirasa dada

Andai sebatas tertulis besar dan indah
sewaktu waktu dapat terhapus
oleh tinta kepentingan waktu dan ketidakpedulian alam;
Semua mengarah pada kesia-siaan
akan amanah Tuhan Allah.

Itu hanya kata dan cerita orang-orang dahulu tentang “apa adanya”
Apa adanya waktu
Apa adanya yang berlaku
Apa adanya yang menimpa negeriku

Apa adanya berarti memejamkan telinga untuk sesuatu yang bermanfaat
Mubazir yang tak memberi nilai selamat

Entah mengapa begitu banyak bertebaran peribahasa, kiasan dan tamsil di Negeri ini,
yang ingatkan kita untuk tidak melakukan perbuatan sia-sia.
Menggarami air di lautan, menunjukkan ilmu kepada orang yang menetak tidak peduli, menunggu lautan kering, menggantang asap, menggantang anak ayam, menghasta kain sarung, menunggu angin lalu, menjaring angin, menanam biji di atas batu, menangkap bayang-bayang, ibarat menyurat di atas air. Itu baru sebagian.

Teringat kisah di tempat pesta nikahan, di mana semua orang memperlihatkan wajah bahagia kecuali satu kelompok yang bersedih pencuci piring.
Mereka bersedih membayangkan andai piring-piring itu kosong-melompong, juga
sedih jika piring yang dipenuhi makanan sisa yang diambil tapi tidak dimakan,
Mengapa diambil jika tidak digunakan
Tak terbuang sia-sia,
masuk ke tempat sampah.

Jadi alangkah indahnya jika di undangan dan tempat pesta, tak cukup ada kalimat “Mohon doa restu”, tetapi juga “Terima kasih untuk tidak mubazir” tanpa embel-embel apa adanya.
Apalagi kita tahu perbuatan sia-sia dilarang agama.
Beruntunglah orang beriman, yang khusyuk dalam shalatnya, dan menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia. (Al-Mu’minuun ayat1 dan 3)

Mubazir itu punya kekuatan namun takut untuk melakukan
Mubazir sepertinya tidak merugikan, tapi bermanfaat bila tidak dilakukan,
berguna bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Ayo kita berpikir. Karena orang yang berpikir, tidak akan kikir, tapi juga tidak akan melakukan perbuatan mubazir.


Fa'tabiru ya ulil absar

sumber : http://aulakehidupan.blogspot.com/2015/01/negeri-apa-adanya.html#more

 

Sabtu, 23 Januari 2021

SELALU BERBUAT BAIK

 

Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (QS.18:110)

 

Didalam hidup ini kita selalu mencari dan mencari, setelah kita menemukan apa yang kita cari, kita masih saja tetap mencari, apakah mencari ilmu, mencari harta, mencari jati diri, mencari jodoh dan sebagainya. Dan itu kita lakukan terus menerus sepanjang hidup kita, sampai ajal datang menjeput.

Mencari ini bisa positif dan bisa pula negatif, semua itu tergantung bagi akal dan pikiran kita. Secara naluriah manusia pada dasarnya punya keinginan untuk mencari yang baik, yang positif, namun terkadang karena keadaan, bisa berubah mencari yang negatif dan buruk, dan semua ini tetap tergantung dari suasana hati dan iman yang ada pada diri kita yang sebenarnya terbentuk sejak kita lahir dan mendapat pelajaran dan pengajaran dari hidup yang kita lalui.

Sebagai manusia kita dibekali akal dan pikiran serta nafsu yang  merupakan satu perangkat yang dianugerahkan Allah kepada kita.Dengan perangkat itu kita harus mendayagunakannya untuk melatih kepekaan terhadap segala sesuatu dan peristiwa yang kita alami. Setiap hari kita selalu menemukan hal yang baru yang kemudian menghantarkan kita untuk melakukan proses pencarian yang baru yang membuat kita belajar untuk lebih memaknai hidup ini, itulah hidup manusia yang selalu berproses.

Akhir hidup ini tidak ada yang mengetahui apakah akan berakhir dengan baik (Husnul Khotimah) atau sebaliknya (Su’ul Khotimah), apakah proses yang kita lakukan selama hidup ini sudah berjalan dengan baik atau tidak, kita hanya bisa menerka dan merasakan, Wallahu a’lam bi shawab, hanya Allah yang mengetahuinya, namun kita harus selalu yakin bahwa Allah itu Rahman dan Rahim, maka Allah akan selalu bersama kita dan selalu memberi clue pada kita, tergantung apakah kita peka atau tidak, cermat atau tidak.

Kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan, ada yang baik dan buruk ada yang positif dan negatif, ada yang kita kira positif ternyata negatif dan adapula yang kita kira baik ternyata buruk. Ada yang menurut kita baik tetapi menurut orang lain tidak baik, demikian sebaliknya. Untuk itulah kita dikaruniai perangkat perangkat di atas. kita harus pandai memilah dan memilih mana yang baik dan benar, baik itu menurut kita maupun menurut orang lain dan tentu saja akan lebih baik dan harus adalah baik menurut Allah. Untuk mencapai itu semua kuncinya adalah selalu berbuat baik dalam hidup ini, dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja dan dalam situasi apapun juga.

Jadi... selalulah berbuat baik......

 

Wassalam

#bang ical


 

Jumat, 09 Oktober 2020

10 Tahun Aku Membencimu dan Setelah Itu Aku Mencintaimu Selamanya

Berikut kisah atau cerita sedih yang dapat memotivasi Anda dalam menjalani kehidupan berumah tangga, Kisah mengharukan atau kisah sedih ini tentang perjalanan cinta seorang istri yang tak pernah mencintai suaminya selama 10 tahun

perjalanan pernikahannya hingga sang Suami meninggal dunia, dan akhirnya ia menyadari betapa besar cinta dan kasih sayang yang diberikan sang suami untuknya selama ini, dulu ia menghabiskan sepuluh tahun untuk membenci suaminya, tetapi setelah Suaminya tiada Ia menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupnya untuk mencintai sang Suami.

 

kucopas dari salah satu blogger yang aku sudah lupa alamat blogspotnya (karena sudah lama sekali)  dengan maksud untuk renungan bagi kita semua, semoga manfaat

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

 

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Semoga cerita ini membawa manfaat, Allahumma aamiin…

Minggu, 20 September 2020

TAMAK, RAKUS ATAU SERAKAH

Tamak adalah sifat dimana seseorang selalu ingin beroleh banyak untuk dirinya sendiri terhadap harta benda. Tamak juga bisa diartikan serakah dan merupakan sifat yang sangat tercela karena merugikan orang lain. Mengapa merugikan orang lain? mari kita bahas secara terperinci, dan penulis tidak akan membahasnya dari sudut pandang agama karena menurut penulis dalam pandangan agama sudah tidak bisa diragukan lagi hukum terhadap tamak atau serakah dan akibat dari tamak baik di dunia maupun di akhirat. Banyak keterangan Al Qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang tamak, rakus atau serakah silahkan anda membacanya pada literatur yang lain.


Mengapa orang bisa berbuat tamak?
Tamak dalam konotasi negatif adalah sifat tercela yang harus dihindari oleh setiap orang, pada diri manusia ada potensi sifat tamak. Potensi sifat tamak ini memiliki dua kecendruangan, yang pertama yaitu kecendrungan terhadap tamak dalam kategori baik dan yang kedua potensi terhadap tamak dalam kategori buruk. Kedua potensi tersebut berpengaruh terhadap pikiran manusia yang bersumber pada hawa nafsu. Ketika pada diri manusia kecendrungan terhadap sifat tamak dalam hal kebaikan yang lebih besar maka manusia tersebut mampu mengontrol keinginan terhadap sesuatu yang bersifat harta benda dengan landasan hati nurani sebagai power utamanya. Dan potensi ketamakan dalam hal baik bisa berupa perbuatan terpuji yang ingin ia lakukan terus menerus dan ia selalu merasa kurang akan perbuatan baik yang sudah dilakukannya. Dalam catatan sejarah peradaban manusia tidak ada manusia berlomba-lomba dalam hal kebaikan justru manusia saat ini lebih banyak ingin menerima dari pada memberi.

Sedangkan manusia yang memiliki kecendrungan lebih besar terhadap sifat tamak dalam hal keburukan, bukan hanya saja ia tidak mampu melawan keinginan hawa nafsunya akan tetapi ada faktor lain yang sangat fundamental yaitu rasa tenggang rasa dan welas asih yang hilang terhadap orang lain, orang yang seperti itu memiliki sifat apa yang dimiliki oleh babi.

Mengapa digambarkan seperti babi?
Karena babi adalah hewan rakus yang tidak pernah kenyang walaupun diberikan makan sebanyak apapun, babi memakan apa saja termasuk kotorannya sendiri. Orang yang tamak tentu saja sadar dan tahu bahwa apa yang ia lakukan adalah salah bahkan ia pun juga tidak rela dan tidak ingin apabila hak bagiannya diambil orang lain, seumpama babi yang tahu bahwa itu adalah kotorannya sendiri tetapi tetap saja ia makan dan santap.

Akibat ketamakan, rakus atau serakah
Sifat tamak akan menimbulkan berbagai macam kerugian yang akan terjadi pada orang yang melakukannya. Salah satu akibat yang paling fatal terjadi adalah penyakit. Orang yang berbuat tamak lebih cepat proses berpikir otaknya, berpikir otaknya bukan untuk melakukan hal kebaikan. Orang tamak berusaha mencari cara agar mendapatkan bagian yang lebih banyak dari pada orang lain. Segala kebohongan dan tipu daya dilakukan untuk mengambil hak orang lain dan itu membutuhkan daya berpikir yang ekstra oleh otak agar menemukan langkah-langkah atau cara-cara keji dan tercela.

Apa yang salah dengan daya kerja otak yang ekstra?
Nah inilah yang tidak difahami oleh banyak orang, ketika kita berpikir untuk melakukan hal keburukan maka ada salah satu organ dalam tubuh kita yang menolaknya yaitu hati. Hati akan memberikan respon sinyal bahwa apa yang dipikirkan oleh otak itu adalah salah dan tidak boleh dikerjakan. Dan setiap otak melakukan proses berpikir, baik pikiran positif maupun negatif maka akan direspon oleh hati. Respon terhadap pikiran positif hanya 1 sinyal sedangkan respon terhadap pikiran negatif bertubi-tubi dan berkali lipat dipantulkan, bahkan sampai pekerjaan sudah dilakukanpun respon sinyal hati masih terus dipantulkan yaitu berupa penyesalan dan rasa bersalah. Pantulan sinyal yang bertubi-tubi akan membawa dampak buruk terhadap organ jantung, ginjal, usus, lambung dan yang lebih besar dampaknya adalah otak sebagai penerima sinyal utama yang dapat menyebabkan struk. Karena respon negatif yang diterima oleh hati maka sinyak negatif pula yang dipantulkan.

Akibat yang kedua yaitu sakit hatinya seseorang yang diambil hak bagiannya oleh orang yang tamak. Ketamakan seseorang sudah bisa dipastikan bahwa ia mengambil hak bagian orang lain agar bagiannya lebih banyak. Dan ini sangat berbahaya, mengapa? karena karakter dan kepribadian seseorang berbeda-beda dan tentu saja si tamak pun juga tidak bisa menduganya, ia bisa saja dibalas oleh orang yang diambil haknya dengan kejahatan seperti dibunuh, dibakar rumahnya, ditabrak di jalan, disakiti anggota keluarganya, diteror, atau yang paling kecil yaitu disumpahin atau dikutuk dengan keburukan.

Cara mengatasi sifat tamak
Inilah bagian yang sulit kita membahasnya, karena orang yang tamak tentu saja tahu dan sadar jika apa yang ia lakukan adalah salah dan tidak benar akan tetapi tetap saja ia kerjakan. Dan ironisnya ia juga tidak rela jika hak bagiannya diambil oleh orang lain. Cara jitu mengatasinya adalah dengan formula racun harus dilawan dengan racun, berdasarkan keterangan pertama di atas, maka orang tamak harus dihadapkan pada orang yang tamak pula (tentu sudah tergambar dipikiran anda apa yang akan terjadi).
 
Mari kita jauhkan sifat tercela tamak, rakus, atau serakah dari diri kita agar hak orang lain tidak kita ambil apalagi sampai kita makan dan masuk ke dalam perut kita atau perut anggota keluarga kita. Semoga keterangan ini bermanfaat dan terima kasih sudah membaca.

Sumber : DodolPirodotblogspotdotcom

Sumber Caption : Lukisan Pribadi

Selasa, 11 Agustus 2020

Beragama tapi Korupsi

 (Kutipan pitutur Emha Ainun Najib)

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun", kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?". Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan". "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" , kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu", jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak" , katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi".
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu. Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca Al-Qur'an, membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal Al-Qur'an, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga , orang yang tidak shalat, tidak membaca Al-Qur'an, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca Al-Qur'an, tapi menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Qur'an.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan,belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita cuma puasa, shalat, baca Al-Qur'an, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orangorang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik Vs Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka". Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W. Allport. 

Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan.
Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demistatus dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.
Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy.

Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.
Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, ...kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan . 

Indonesia , sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.
 

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.
Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.

 sumber gambar : CakNun.com

Sabtu, 25 Juli 2020

Jenis Kopi Arabika Terbaik Dari Berbagai Daerah Di Indonesia

Untuk menambah wawasan kita dan khususnya bagiku sendirir tentang seluk beluk perkopian, sengaja ku kutip artikel mengenai kopi arabika ini dari web coffeeland Indonesia. pada blogku ini semoga ada manfaatnya bagi kita semua...

 

Salah satu jenis kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah kopi dan beberapa jenis kopi Indonesia ini gaungnya sudah terdengar luas di dunia. Indonesia bahkan sudah masuk dalam urutan ke-4 penghasil kopi terbaik kelas dunia. Sebut saja Aceh gayo, Mandheling, Toraja, Flores dan masih banyak lagi, lebih dari 15 daerah penghasil kopi unggulan Indonesia.
Kami merekomendasikan delapan jenis kopi arabika terbaik dari berbagai daerah di Indonesia yang bisa anda coba terlebih dahulu. Berikut rekomendasi kopi arabika beserta karakter dan daerahnya:
  1. Kopi Gayo
    Kopi Gayo merupakan jenis kopi Arabika yang sudah terkenal di berbagai belahan dunia. Kopi arabika gayo mempunyai rasa paling khas dan disukai dibandingkan kopi arabika yang di tanam di tempat lain. Kopi gayo mempunyai cita rasa yang tinggi yaitu dengan aroma yang nikmat serta khas, tingkat keasaman yang lebih rendah dan memiliki kepahitan yang kuat. Dilihat dari body sendiri, kopi khas Aceh ini kental, atau disebut full body.Kopi Aceh Gayo adalah kopi berjenis Arabika. Tidak hanya memiliki rasa dan wangi yang khas, jenis kopi terbaik Indonesia ini juga memiliki beberapa khasiat. Salah satunya adalah untuk menangkal radikal bebas serta memaksimalkan metabolisme tubuh.
  2. Kopi Toraja
    Kopi asal Tana Toraja ini juga sangat tersohor kenikmatannya. Rasa identik dari kopi ini ialah kecokelatan, tembakau, atau caramel. Dari segi tingkat keasaman dan bodynya medium, cocok bagi semua kalangan yang tidak suka terlalu asam atau terlalu pahit.Anda akan terkejut saat pertama kali mencobanya.  Lidah anda akan merasakan rasa pahit yang menghilang sesaat yang tidak menyisakan bekas rasa pahit di lidah. Rasa inilah yang digemari para penikmat kopi nusantara dan mancanegara.
  3. Kopi Bali Kintamani
    Selain pesona wisata yang sangat terkenal di dunia. Bali juga mempunyai permata yang tersembunyi yaitu penghasil kopi terbaik di dunia.Di daerah kintamani Bali mempunyai kopi yang memiliki ciri khas yang beda dari yang lain.Kopi Bali Kintamani bercita rasa bercampur dengan rasa buah yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya. Bercita rasa keasaman bercampur dengan rasa segar cita rasa yang unik. Hal ini di sebabkan oleh sistem penanaman biji kopi yang bercampur dengan beraneka ragam sayuran atau yang biasa disebut dengan sistem tumpang sari.
  4. Kopi Flores
    Kopi di flores tumbuh subur karena  adanya abu vulkanik dari gunung berapi. Keunikan jenis kopi flores ialah karena rasa yang bisa dihasilkan sagat beragam mulai cokelat, spicy, tembakau, strong, citrus, bunga, hingga kayu. Dengan tekstur kental, kopi ini cenderung memiliki tingkat keasaman yang tinggi.
  5. Kopi Jawa (Java)
    Jenis kopi yang sudah mulai terkena sejak abad ke-17 ini tetap menjadi pilihan terbaik bagi para petinggi Belanda dengan aroma rempah. Proses giling basah ini juga membuat kopi Jawa sangat nikmat dan menjadi salah satu kopi berkualitas tinggi di dunia.
  6. Kopi Wamena
    Seperti namanya, jenis kopi ini tumbuh secara subur di Pegunungan Wamena dengan aroma ringan namun sangat harum karena para petani hanya memakai bahan organik untuk menanam tanaman kopi tersebut. Ciri khas dari kopi ini adalah rasanya yang sangat original tidak ada ampas, harum dan juga tidak meninggalkan rasa asam pada lidah anda. Jadi akan terasa kopi yang original, ringan tanpa ampas, harum dan tidak meninggalkan rasa asam di lidah.
  7. Kopi Mandheling
    Kopi Mandailing adalah jenis kopi yang dibawa Belanda menuju Indonesia tahun 1699 yang kemudian ditanam di Sumatera lebih tepatnya Mandailing Natal, Kabupaten Pakantan, Sumatera Utara. Kopi ini sudah sangat terkenal di dunia sejak tahun 1878 dengan cita rasa dan aroma yang sangat kuat dan hanya ditanam di dataran Mandailing saja sehingga membuat kopi ini sangatlah spesial.
  8. Kopi Malabar
    Meski kopi arabika yang satu ini ditanam di dataran yang tidak terlalu tinggi, tetapi proses pasca panennya yang rapih dan terstruktur membuat hasilnya menjadi salah satu yang terbaik. Jika lihat petani di kebunnya pasca panen, itu sangat rapi terstruktur prosesnya jadi taste-nya lebih bagus dan beragam. Ada natural process, semi wash sampai full wash proces
 Sumber : Coffeeland Indonesia

Rabu, 08 Juli 2020

Sejarah dan Jenis Kopi Dunia

Artikel ini kucopy dari Sasamecoffee.com   untuk menambah pengetahuan tentang perkopian bagiku dan bagi kita semua, terutama yang belum tahu dan pengen tahu tentang perkopian mumpung saat ini lagi demam kopi dimana mana, berikut artikelnya:


Sejarah dan Jenis Kopi Dunia 
Sejarah dan Jenis Kopi Dunia & IndonesiaSejarah kopi konon bermula pada abad ke-9 di Ethiopia. Namun, budidaya dan perdagangan kopi baru mulai populer pada abad ke-15 oleh pedagang Arab di Yaman. Kopi mencapai Eropa pada abad ke-17 namun tidak dapat tumbuh baik di sana. Bangsa-bangsa Eropa lantas menggunakan daerah jajahannya untuk membudidayakan tanaman kopi. Indonesia, yang diduduki Belanda, memiliki andil yang besar dalam sejarah dan persebaran jenis kopi di dunia.

Asal Usul Kopi
Sejarah kopi sangat erat kaitannya dengan peradaban kaum muslim era kekhalifahan. Peradaban muslim punya pengaruh yang besar bagi perkembangan peradaban dunia, baik dalam hal sains, teknologi, budaya, seni, sastra, hingga kuliner. Budaya minum kopi adalah salah satunya

Budaya Minum Kopi Orang Muslim

Konon, tanaman kopi pertama kali ditemukan di daratan Afrika, tepatnya di daerah yang merupakan bagian dari negara Ethiopia, yaitu Abyssinia. Masyarakat Ethiopia mulai mengkonsumsinya sejak abad ke-9. Pada saat itu kopi belum dikenal luas di dunia.
Biji kopi menjadi komersial setelah dibawa oleh para pedagang Arab ke Yaman pada pertengahan abad ke-15. Kopi dipopulerkan menjadi minuman oleh orang-orang muslim. Istilah kopi juga lahir dari bahasa Arab, qahwah yang berarti kekuatan.
Berkat peradabannya yang lebih maju dari Afrika, Arab membudidayakan kopi sendiri dan mengekspornya ke penjuru dunia. Orang-orang muslim mulai menyebarluaskan kopi melalui Pelabuhan Mocha, Yaman.
Berdasarkan literatur sejarah kopi, minuman ini sempat menjadi komoditas utama di dunia Islam. Minuman kopi sangat populer di kalangan peziarah kota Mekah meskipun beberapa kali dinyatakan sebagai minuman terlarang. Para peziarah meminumnya untuk mengusir kantuk dan tetap terjaga saat beribadah malam.

Era Kekhalifahan dan Penyebaran Kopi ke Eropa

Pada masa kekhalifahan Turki Utsmani di abad ke-15, kopi menjadi sajian utama di setiap perayaan. Melalui Turki inilah, minuman pahit berwarna hitam kecokelatan ini mulai dikenal dan disukai oleh orang-orang Eropa.
Perbedaan budaya dan bahasa membuat bangsa Turki menyebut qahwah menjadi kahveh. Mulai dari sinilah kemudian orang-orang Belanda mengenal dan menyebutnya koffie.
Orang-orang Kristen Eropa mengadopsi kebiasaan minum kopi karena erat kaitannya dengan kemegahan dan kekayaan orang-orang Turki Ustmani. Pada saat itu, kopi arabika merupakan primadona bahkan menjadi minuman kelas menengah di Inggris pada tahun 1600-an.
Kopi lantas menjadi komoditas penting di dunia. Orang-orang Eropa mencoba membudidayakannya sendiri. Namun, seringkali upaya tersebut gagal karena tanaman kopi tidak bisa tumbuh baik di sana.
Oleh karena tidak bisa tumbuh baik di negerinya, beberapa negara di Eropa membawa tanaman ini ke daerah lain. Biasanya mereka memanfaatkan negara koloni atau jajahannya.

Legenda tentang Asal Usul Minuman Kopi

Ada dua kisah legendaris tentang sejarah kopi. Legenda tersebut berkisah tentang Khaldi yang bertemu dengan kambing-kambing, dan Omar yang bekerja sebagai tabib. Dua mitos ini menceritakan awal manusia mulai mengonsumsi kopi.
Kedua kisah tersebut sangat terkenal dan mendunia. Siapa saja yang mencoba untuk menelusuri sejarah kopi akan bertemu dengan dua mitos ini.

1. Khaldi dan Kambing yang Menari


Sejarah Kopi - Khaldi dan KambingCerita ini merupakan mitos yang lahir di Ethiopia. Seiring dengan persebaran kopi di dunia, kisah ini pun tersebar secara lisan hingga melegenda.
Konon, hiduplah seorang lelaki penggembala kambing bernama Khaldi pada kisaran tahun 850. Suatu hari, kambing-kambingnya melompat-lompat kegirangan seperti sedang menari. Usut punya usut, ia mendapati kambingnya telah memakan buah beri merah dari pohon yang asing.
Penasaran dengan yang dialami kambingnya, Khaldi mencoba buah tersebut. Setelah memakannya, ia menjadi bersemangat seperti kambing-kambingnya itu.
Khaldi menceritakan apa yang dialaminya kepada petapa atau biarawan. Si biarawan kemudian tertarik untuk mencoba buah ajaib itu. Ia pun bisa menjadi lebih kuat dan terjaga sepanjang malam tanpa mengantuk untuk berdoa.
Oleh karena buah tersebut terasa sangat pahit, maka biarawan itu mulai mengolahnya. Ia mencoba memanggang dan menyeduh buah tersebut. Sejak itulah kopi mulai dikenal sebagai minuman yang dapat menambah tenaga dan mengusir rasa kantuk.

 2. Omar Si Tabib Sufi

Pada suatu hari, hidup seorang tabib penganut sufi di kota Mocha, Yaman. Ia bernama Ali bin Omar al Shadili dan biasa disapa Omar.
Omar dikenal sebagai tabib yang memadukan tindakan medis dengan doa. Hampir segala penyakit bisa ia sembuhkan dengan cara itu. Ia pun menjadi tabib terkenal dan terpercaya di kota Mocha.
Kepopuleran Omar tersebut tidak disukai oleh penguasa lokal. Segala upaya dilakukan untuk menjatuhkan Omar, seperti menggosipkannya telah bersekutu dengan setan untuk menyembuhkan pasiennya. Akhirnya masyarakat mengusir Omar dari Mocha.
Omar pergi menjauh dan tinggal di dalam gua di luar kota Mocha. Pada saat ia mulai kelaparan, ia menemukan semak yang penuh dengan buah beri berwarna merah.
Omar berpikir bahwa buah tersebut merupakan tanda Tuhan hendak menyelamatkannya. Ia pun memakan buah itu untuk mengusir rasa laparnya. Oleh karena rasa beri merah itu pahit, segala cara dilakukannya untuk mengolah buah itu hingga ke bijinya.
Usaha Omar tidak membuahkan hasil karena ia tetap tak bisa menikmati buah itu. Ia pun hanya meminum cairan dari biji buah itu untuk memuaskan rasa hausnya. Tidak disangka, cairan yang ia minum mampu menyegarkan tubuhnya.
Singkat cerita, banyak pasien datang ke gua dan meminta Omar untuk kembali menyembuhkan penyakit orang-orang. Omar pun mulai menggunakan air seduhan dari biji buah beri itu sebagai obat mujarab. Air itu pun terkenal dan disebut dengan nama Mocha.

Demikian Artikel ini ku posting, semoga manfaat bagi kita kita yang pemula, untuk lengkapnya silahkan lihat di sumber artikel di bawah

Sumber Artikel dari www.sasamecoffee.com